“Moratorium (pembekuan/penundaan) pemberian remisi dan pembebasan
bersyarat kepada terpidana korupsi telah ditetapkan melalui surat edaran dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Moratorium tersebut ditetapkan melalui
surat edaran
dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM. Politisi Golkar Paskah
Suzzeta dan Politisi PDIP Panda Nababan harusnya bisa menghirup udara segar
harus batal, karena moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi
koruptor. Timbulah kontroversi dan perdebatan panjang. Pada umumnya para
pendukung anti korupsi sebagai pendukung kebijaksanaan itu. Tetapi sebaliknya
kubu koruptor, pengacara dan pendukungnya dengan keras menentang keputusan
itu. Kubu penentang menganggap kebijakan moratorium remisi dan pembebasan
bersyarat dinilai inkonstitusional karena tidak memiliki dasar hukum.”
Surat edaran dengan nomor
PAS-HM.01.02-42 itu diterbitkan pada 31 Oktober 2011. Dalam waktu dekat,
kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat koruptor itu juga akan
diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Amir mengatakan bahwa
dia belum pernah memberikan izin pembebasan bersyarat terhadap terpidana
korupsi selama dia menjabat.
Moratorium atau penghentian
sementara pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor tidak
melanggar aturan. Lebih jauh lagi, moratorium itu sejalan dengan upaya
pemberantasan korupsi. “Tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan
karena sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi,” kata Wakil Menteri Hukum
dan HAM RI,
Denny Indrayana
Denny mengatakan, moratorium itu
untuk memberikan efek jera pada para koruptor. Selain itu, untuk memenuhi rasa
keadilan bagi masyarakat.Menurutnya, moratorium itu memang belum dilakukan
secara total bagi seluruh koruptor. Terutama, bagi whistle blower atau pelaku
pelapor yang tetap akan diberikan pengecualian. Namun, pemerintah akan
menyeleksi dengan ketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu.
Pencitraan
Wakil Menteri Hukum dan HAM
Denny Indrayana menyangkal, kebijakan pengetatan remisi koruptor untuk
pencitraan politik kabinet SBY-Boediono. Denny berkilah kebijakan tersebut
untuk memperbaiki tatanan hukum di Indonesia. “Politik pencitraan? Kami bekerja
saja. Insya Allah. Setiap kebijakan yang diambil pasti ada resiko. Itu
merupakan konsekuensi perjuangan dalam upaya pemberantasan korupsi,” ucap Denny
Lebih lanjut Denny mempersilahkan setiap orang untuk berpendapat perihal
kebijakan pengetatan remisi koruptor tersebut. Namun, kebijakan pengetatan tetap
akan berlanjut. “Pendapat-pendapat lain silahkan saja, karena ini negara
demokratis. Itu semua jadi pemicu semangat dan modal bagi kami untuk melakukan
instropeksi dan meluruskan niat. Kebijakan ini semata-mata kami dedikasikan
bagi Indonesia
yang lebih bersih ke depannya,” paparnya.
Pendukung
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahfud MD menilai, langkah pemerintah melakukan moratorium remisi dan
pembebasan bersyarat bagi koruptor dan teroris secara prinsip itu bagus. ”Saya sangat
setuju. Soal hukumnya memang bisa diperdebatkan, tapi menurut saya tak ada isi
UU yang secara terang-terngan dilanggar oleh kebijakan itu,”
Mahfud MD mengapresiasi
kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor maupun
teroris. Menurut Mahfud, secara prinsip ide yang dilontarkan Wakil Menteri
Hukum dan HAM Denny Indrayana itu layak diapresiasi. Mahfud mengakui, kebijakan
moratorium itu ada sebagian yang melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Apalagi pemerintah bukan meniadakan, melainkan hanya
melakukan penghentian sementara dan pengetatan. Menurut Mahfud,
koruptor itu harus dihukum berat, sebab keberadaan mereka merusak masa depan
bangsa. Selain itu, koruptor juga memikirkan diri sendiri dengan menumpuk
kekayaan melalui jalur ilegal dan tega memiskinkan jutaan rakyat Indonesia.
“Kalau dikatakan moratorium itu melanggar UU, rasanya tidak juga,” kata Mahfud.
Pasalnya, meski UU
Pemasyarakatan menjelaskan, remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak
narapidana. Namun, menurut UU itu juga ketentuan dan syarat-syaratnya diatur
sesuai Peraturan Pemerintah (PP) yang berlaku. Dalam PP itu dikatakan, salah
satu syarat pemberian remisi atau pembebasan bersyarat itu harus memperhatikan
rasa keadilan masyarakat. Memang rasa keadilan inilah yang bisa diperdebatkan
secara hukum karena ukurannya terlalu abstrak. Tapi, dari situlah justru bisa
masuk kebijakan pemerintah untuk melakukan pengetatan dan moratorium. Sehingga
untuk jangka panjang, penghapusan remisi bagi koruptor dan teroris bisa melalui
uji materi legislative review di MK. “Karena di masa transisi kebijakan
pemerintah itu tidak melanggar hukum!”
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) mendukung keputusan moratorium yang diambil Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Kemenkumham) atas remisi hukuman terhadap koruptor. Langkah
tersebut, menurut Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, merupakan indikasi
keseriusan Pemerintah dalam upayanya memberantas tindak pidana korupsi.
Koruptor, apapun latar belakangnya dinilai tak layak mendapatkan pengurangan hukuman.
Bahkan, ia merekomendasikan penghentian sementara itu dipatenkan. ” Mereka itu
musuh bersama. Rakyat initinya minta koruptor dihukum
seberat-beratnya,”katanya. Menurutnya, pematenan moratorium itu bisa berbentuk
Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden. Terkait
perwujudannya, pihaknya menilai itu menjadi wewenang pemerintah. Terkait adanya
terpidana korupsi yang berencana mensomasi Kemenkumham, pihaknya menyayangkan.
Langkah tersebut dinilai justru akan menyudutkan koruptor di mata masyarakat.
Kejaksaan Agung mendukung
kebijakan Kementerian Hukum dan HAM dalam menerbitkan moratorium remisi bagi
para koruptor dan teroris. “Saya secara pribadi maupun kelembagaan sangat
mendukung ide yang baik dalam rangka moratorium. Itu upaya peningkatan
pemberantasan korupsi,” kata Wakil Jaksa Agung, Darmono di Kejaksaan Agung,
Darmono menambahkan, penghentian remisi itu dinilai akan membuat jera para
pelaku korupsi. Namun, menurut Darmono, lebih baik moratorium itu disertai
landasan hukum yang kuat. “Artinya apakah itu Undang-Undangnya diubah dulu.
Apakah PP-nya diubah dulu, sehingga disertai landasan hukum yang baik. Sehingga
tidak menimbulkan satu kontroversi,” kata dia.
Indonesian Corruption Watch
(ICW) menyambut baik upaya Kementerian Hukum dan HAM yang berencana melakukan
moratorium remisi terhadap terpidana kasus korupsi.
Peneliti ICW bidang hukum Febridiansyah mengatakan, pemberantasan korupsi dibutuhkan langkah konkret. Salah satunya adalah kebijakan penghentian remisi bagi koruptor. Moratorium remisi, menurut Febri, merupakan bentuk menolak kompromi terhadap koruptor. “Karena itu kami sambut baik moratorium remisi ini,” kata Febri di kantor ICW
Peneliti ICW bidang hukum Febridiansyah mengatakan, pemberantasan korupsi dibutuhkan langkah konkret. Salah satunya adalah kebijakan penghentian remisi bagi koruptor. Moratorium remisi, menurut Febri, merupakan bentuk menolak kompromi terhadap koruptor. “Karena itu kami sambut baik moratorium remisi ini,” kata Febri di kantor ICW
Komisi Pemberantasan Korupsi
mendukung rencana pemerintah untuk melakukan moratorium remisi kepada koruptor.
“Kami merespons, mengapresiasi,” kata Ketua KPK, Busyro Muqoddas, pertengahan
September silam. Adanya moratorium remisi diharapkan KPK bisa memberikan
efek jera kepada para koruptor setelah KPK berupaya keras untuk memberikan
penindakan. Sayangnya, selama ini penindakan KPK terbentur pada tidak
maksimalnya masa hukuman yang dijalani para koruptor.
Melanggar Hukum
Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Padjajaran Gde Pantja Astawa mengatakan, pemerintah tidak bisa
melakukan moratorium pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat tanpa
dasar yang kuat. Aturan tentang remisi maupun pembebasan bersyarat merupakan
hak setiap narapidana yang secara resmi diatur oleh undang-undang. “Kalau mau
bicara moratorium, harus pakai dasar. Revisi dulu undang-undangnya,” kata
Pantja Menurutnya, jika pemerintah tetap melakukan moratorium remisi dan
pembebasan bersyarat sebelum melakukan revisi undang-undang, maka pemerintah
telah menyalahgunakan wewenangnya untuk melanggar aturan. Hal tersebut akan
menjadi contoh buruk yang dilakukan pemerintah bagi masyarakat
Kebijakan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Menkum HAM) Amir Syamsuddin dan Wakilnya Denny Indrayana soal
moratorium remisi untuk terpidana kasus korupsi digugat. Pakar hukum tata
negara Yusril Ihza Mahendra berencana mengajukan somasi terkait kebijakan
moratorium remisi itu. Yusril mengaku, siap bertindak sebagai kuasa hukum para
para narapidana yang dirugikan kebijakan dua orang itu. Langkah lainnya adalah
mengajukan uji materi (judical review) terhadap semua aturan keliru yang
diterapkan pemerintah. Yang menjadi sasaran uji materi adalah Mahkamah Agung
(MA) terhadap Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan.
Yusril menilai kebijakan itu
bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), sebab mendiskriminasi narapidana.
Pasalnya, semua warga negara Indonesia
memiliki persamaan kedudukannya dalam hukum dan harus diperlakukan sama,
termasuk orang berstatus narapidana. Apalagi, remisi tahanan itu menjadi salah
satu hak narapidana kasus korupsi. Karena itu, pemerintah tidak bisa bertindak
semaunya sendiri, kecuali dengan mengubah UU tersebut. Yusril menjelaskan, UU
Pemasyarakatan mengatur remisi, pembebasan bersyarat, dan asimilasi, sehingga tidak
bisa ditafsirkan seenaknya oleh penguasa. Menurutnya, kalau memang tidak
sesuai, MK bisa membatalkannya. Bukannya dijalankan tanpa dasar oleh orang yang
sedang berkuasa.
Ketua Mahkamah Agung (MA),
Harifin Andi Tumpa menilai penghapusan remisi terhadap terpidana kasus korupsi,
narkoba, atau teroris tidak tepat. Karena setiap terpidana berhak mendapatkan
remisi sesuai Undang-Undang Pemasyarakatan yang mengatur tentang remisi.
(Dilarang Mencopas tanpa seijin dan tanpa menyertai asal sumber artikel tersebut. Hak Cipta dilindungi oleh UU dan Allah SWT)
ttd
CTN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan Komentar, Saran, Kritik, Masukan atas Artikel diatas. ^_^
Dimohon untuk tidak mengunakan akun anonim.
No Spam please!
Assalamualaikum