Istilah Bonek, akronim bahasa Jawa dari Bondo
Nekat (modal nekat), biasanya ditujukan kepada sekelompok pendukung atau
suporter kesebelasan Persebaya Surabaya, walaupun ada nama kelompok resmi
pendukung kesebelasan ini yaitu Yayasan Suporter Surabaya (YSS).
Sejarah
- Nama Bonek
Istilah bonek pertama kali dimunculkan oleh Harian
Pagi Jawa Pos tahun 1989 untuk menggambarkan fenomena suporter Persebaya
yang berbondong-bondong ke Jakarta dalam jumlah besar. Secara tradisional,
Bonek adalah suporter pertama di Indonesia
yang mentradisikan away supporters (pendukung sepak bola yang mengiringi
tim pujannya bertandang ke kota
lain) seperti di Eropa. Dalam perkembangannya, ternyata away supporters
juga diiringi aksi perkelahian dengan suporter tim lawan. Tidak ada yang tahu
asal-usul, Bonek menjadi radikal dan anarkis. Jika
mengacu tahun 1988, saat 25 ribu Bonek berangkat dari Surabaya
ke Jakarta
untuk menonton final Persebaya - Persija, tidak ada kerusuhan apapun.
- Musuh dan teman
Secara tradisional, Bonek memiliki lawan-lawan, sebagaimana
layaknya suporter di luar negeri. Saat era perserikatan, lawan tradisional
Bonek adalah suporter PSIS Semarang dan Bobotoh Bandung. Di era
Liga Indonesia, lawan tradisional itu adalah Aremania Malang, The Jak suporter
Persija, dan Macz Man fans PSM Makassar. Di era Ligina, Bonek justru bisa
berdamai dengan Bobotoh Persib Bandung, Macz Man (PSM Makassar) dan Suporter
PSIS
Semarang.
Namun tidak selalu Bonek bertindak anarkis ketika
kesebelasan Persebaya kalah. Tahun 1995, saat Ligina II, Persebaya
dikalahkan Putra Samarinda 0 - 3 di
Gelora 10 November. Tapi tidak ada amuk Bonek sama sekali. Para Bonek hanya
mengeluarkan yel-yel umpatan yang menginginkan pelatih Persebaya mundur.
Saat masih di Divisi I, Persebaya pernah ditekuk PSIM 1 - 2 di kandang
sendiri. Saat itu juga tidak ada aksi kerusuhan. Padahal, jika menengok fakta
sejarah, hubungan suporter Persebaya dengan PSIM sempat buruk, menyusul
meninggalnya salah satu suporter Persebaya dalam kerusuhan di kala perserikatan
dulu.
Tindak anarki yang berkedok bonek adalah merupakan oknum,
sejak Persebaya
juara pada tahun 2004
banyak sekali masyarakat luar Surabaya yang menjadi Bonek, di waktu senggang
itulah beberapa oknum menyamar menjadi bonek, di tahun berikutnya banyak sekali
pemberitaan yang menjelek jelekan bonek karena tindakannya yang anarki, hal
tersebut karena ulah oknum dari musuh bonek seperti Aremania yang memasukan
salah satu anggotanya yang bernama Gobest untuk menyamar menjadi Dirijen
Deltamania.
Hingga saat ini bonek selalu di adu dombakan oleh supporter
lain, seperti Delta Mania supporter Deltras
Sidoarjo, dalam sejarahnya tidak ada permusuhan antara Bonek dengan Delta,
malah persahabatan yang erat, setelah Deltras ke ISL lolos dari divisi
utama, tiba-tiba Deltamania menjadi musuh Bonek dan mencaci maki, melakukan
sweeping & penyerangan terhadap Bonek sampai seluruh Bonek mania emosi dan
sakit hati melihat adanya oknum yang memengaruhi Delta yang selama ini tidak
ada pro kontra. Itu dikarenakan ada sekitar 20 oknum Bonek mania yang melakukan
penyerangan ke markas deltamania setelah pulang dari menyaksikan Pertandingan
persahabatan antara Persekabpas Pasuruan dengan Persebaya 1927, dan mencuri
peralatan drum milik Deltamania semua ini terjadi karena adanya provokasi dari
Delta Mania yang disokong oleh Aremania Sidoarjo. Hal ini menyulut emosi para
Deltamania Karena perbuatan Oknum Bonek.
Anarki merupakan masa lalu bonek. Sekarang bonek bukanlah
supporter yang anarki, bonek tidak akan mengamuk jika di provokasi, beberapa
supporter musuh bonek yang selalu memprovokasikan bonek agar anarki, supaya
didenda serta dicap buruk, hingga sekarang bonek tetap tabah dan sabar,
beberapa lagu rasis yang dinyanyikan bonek merupakan gambaran kemarahan bonek
karena sebelumnya dinyanyikan lagu oleh supporter musuh bonek yang mengejek
serta memancing bonek agar anarki.
Selain itu Bonek merupakan simbol pejuang Surabaya pada
peristiwa 10 november 1945 saat
sekutu menyerang rakyat Surabaya, dengan keberanian serta bondo nekat rakyat Surabaya
menyerang sekutu dengan senjata seadanya, sejak saat itulah sifat rakyat Surabaya turun
menurun menjadi tradisi dan simbol keberanian arek suroboyo yaitu BONEK.
- Sekali
lagi, ini tentang Bonek
Setelah revolusi sepakbola Indonesia, banyak pihak yang
sepertinya melupakan salah satu faktor penentu revolusi tersebut
Ketika gelombang demo supporter tanah air menuntut
KLB untuk memaksa Nurdin Halid turun dari PSSI hampir sirna bagai debu
tersapu angin, Bonek tetap tak menyerah. Sesuai dengan cerminan namanya, bondo
dan nekat, sejumlah perwakilan Bonek menyebrang samudera untuk melancarkan demo
di markas FIFA. Aksi perwakilan Bonek yang berdemo langsung di markas FIFA,
Swiss, langsung menyita perhatian masyarakat bola tanah air. Sebab tak ada yang
menyangka dan tak pernah terpikirkan sebelumnya kalau ada kelompok
supporter yang nekat pergi ke negeri orang hanya karena ingin menuntut keadilan
untuk sepakbola Indonesia
yang saat itu tengah terancam hukuman FIFA. Dengan dibantu beberapa aliansi
suporter klub lokal, Lucerne dan FC Zurich yang sempat diperkuat Kurniawan DJ,
mereka menyebarkan amplop coklat berisi petisi buat FIFA yang berjudul Justice
for Indonesian football.
Sepenggal berita lama tersebut cukup untuk menggambarkan
bagaimana karakter Bonek itu sebenarnya. Keras, pantang menyerah, dan memang
nekat. Keteguhan memegang prinsip dan harga diri bagi Bonek diwarisi dari
semangat Arek-arek Suroboyo saat pecahnya pertempuran 10 November 1945.
Namun bagi masyarakat di luar Bonek atau Surabaya, kenekatan dan sikap keras mereka
seringkali ditanggapi negatif. Tak dapat disangkal memang, selama masa 8 tahun
kepemimpinan Nurdin Halid, berita-berita tentang Bonek yang rusuh hampir selalu
menghiasi media massa.
Ketika menyebut nama Bonek, maka bagi sebagian besar
masyarakat bola Indonesia
akan membayangkan anarkisme suporter sebuah klub. Hampir semua ulah Bonek
langsung diblow up oleh media. Jika terjadi anarkisme oleh sebagian supporter
klub lain, media cukup menyebut “oknum” atau supporter klub tersebut. Beda jika
Bonek yang melakukan kerusuhan. Tak ada lagi sebutan oknum, tapi semua jari telunjuk
media dan masyarakat tertuju pada Bonek secara keseluruhan. Tak adil memang,
tapi itulah salah satu nilai jual Bonek bagi media. Begitu tingginya nilai jual
mereka hingga sebuah foto dari wartawan Jawa Pos Sholihudin memenangkan World
Press Photo (WPP) atau Foto Jurnalistik Dunia kategory spot news tahun 2000-an.
Stigma negatif pada Bonek perlahan memang ingin dihilangkan.
Bonek pun mulai menunjukkan kedewasaan sikapnya. Ketika Aremania merusak
beberapa kendaraan plat “L” saat konvoi damai tahun 2010, Bonek membalasnya
dengan aksi bagi-bagi bunga bagi kendaraan plat “N”. Begitu pula ketika
ribut-ribut membahas keistimewaan
Yogyakarta, Bonek yang datang ke Yogyakarta
dengan tujuan menonton pertandingan Persebaya vs PSIM, masih sempat melakukan
aksi simpatik dengan membentangkan spanduk berisi dukungan bagi keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sayangnya, aksi simpatik bonek masih kalah dengan
pemberitaan aksi anarkisme mereka. Tak heran, masyarakat masih memandang Bonek
sebagai juara supporter anarkis.
Rasanya begitu deras tudingan negatif pemberitaan media massa baik online maupun
media cetak, karena justru disinilah sepak terjang BONEK yang ‘menjual’ mereka
tawarkan pada masyarakat lewat pemberitaannya.
Hanya lewat media Citizen Jurnalisme Bonek melawan
pemberitaan miring tersebut. Tapi kesabaran memang ada batasnya, maka jangan
salahkan jika Bonek akhirnya akan turun ke jalan lagi, sebagaimana nenek moyang
mereka, “Arek-arek Suroboyo” turun ke jalan menentang pendudukan tentara
Inggris di Surabaya.
- SEDIKIT
CERITA TENTANG BONEK ADALAH KEBERSAMAAN
Sekilas
pandangan masyarakat awam tentang bonek adalah suporter perusuh, penjarah,
radikal, berandal dan yang pastinya berbau kriminal. Kami akui, memang kami
bonek bukanlah suporter terbaik tapi kami bonekmania slalu mencoba ingin jadi
lebih baik. Bonek adalah suporter sepak bola. Dan pastinya BONEK ADALAH BONEK.
Bonek bukanlah suporter yang bilamana anarkis
selalu mengatasnamakan oknum suporter, bukan mengakuinya dan meminta maaf.
Bonek anarkis, bonek bikin ulah, bonek menjarah pedagang. Itulah headline yang slalu menghiasi media massa saat bonek tur ke luar kota. Media massa bagaikan ketiban rejeki saat bonek tur ke luar kota. Bagaikan dalam perlombaan, para pewarta berita berlomba-lomba memberitakan perjalanan tur bonek dengan mengarang indah dan pemberitaan yang paling menjual tanpa memandang kode etik pers. Masih jelas dalam ingatan saya, 24 Januari 2010 Bonek tur bandung diserang di solo. Dalam cuplikan video pada media massa menayangkan bonek yang kala itu di dalam dan di atas gerbong kereta diserang warga, bukan bonek yang menyerang, tapi dalam pembritaan headline nya
Bandingkan dengan berpuluh-puluh ribu Aremania tur jakarta pada saat akhir kompetisi ISL 2010 Persija vs Arema. Adakah pemberitaan aremania yang mencolok? Seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam dengan perjalanan arema. Padahal tur tersebut memakan korban 11 Aremania meninggal dunia (sumber : malang tv). Atau mungkin media massa takut beritanya tidak laku keras tidak seperti pemberitaan tur Bonek? Sampai-sampai Bonek dijadikan cerita bahan lawakan dalam sebuah acara komedi di tv swasta karena rating pemberitannya yang tinggi.
Kita putar memori kembali saat pelita karawang vs persebaya. Bonek yang datang ke stadion singaperbangsa karawang diserang oleh oknum suporter tuan rumah, dan besok paginya muncul diberitakan di redaksi berita olahraga ternama tentang bonek menyerang suporter tuan rumah. Dengan kemajuan teknologi saya mengajak teman-teman bonek yang ada di grup facebook saya, untuk menyebarkan ke grup yang laen untuk mengirim email protes ke redaksi tersebut. Alhamdulillah 2-3 hari setelah email tersebut dikirim, pihak redaksi meminta maaf kepada pengurus bonek
Dan di sini saya mengajak kepada teman-teman bonek se jagat raya, bila nantinya ada pemberitaan miring tentang bonek mari kita berlomba-lomba mengirim email protes kepada media massa agar nama bonek tidak semakin tercoreng gara-gara ulah oknum wartawan pemburu harga bukan pemburu berita. Kita manfaatkan fasilitas yang ada saat ini, teknologi udah maju dulur.
Sebelumnya saya pernah kuliah di malang dan sedikit banyak saya mengerti perbedaan bonek dan seterunya aremania. Pada umumnya Bonek dan Aremania sama, sama-sama suporter fanatik, suporter terbesar. Di Bonek ada suporter cinta damai, di aremania juga ada suporter cinta damai, di bonek ada suporter garis keras bonek '89, di aremania ada suporter sirag sarek '87, di bonek ada yang resek, di aremania juga ada yang resek. Intinya gak semuanya bonek itu resek, tapi juga masih cinta damai. Gak semuanya aremania cinta damai tapi masih juga aremania resek.
Saya sendiri menganut faham bonekisme "Biarkanlah orang menganggap luar kita radikal, tapi dalam hati kita bermoral. Daripada orang menganggap luar kita terbaik, tapi itu hanya munafik"
Tapi di sini perbedaannya, bonek yang kala tur berbuat anarkis dan menjarah. Langsung stigma anarkis itu melekat pada diri bonek. Perlu diketahui tidak semuanya bonek itu anarkis. Masih ingat bulan ramadhan kemarin? Kelompok-kelompok suporter bonek yang ada di surabaya, sidoarjo, gresik, pasuruan, maupun jember dan daerah-daerah lain membagikan ta'jil ke pengendara umum. Tapi di sini yang saya banggakan, ketika bonek dicaci maki saat melakukan tindakan anarkis. Mereka menerimanya dengan lapang dada, bukan malah munafik menuduh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab melakukannya. Bukan malah mencari-cari alasan lain agar namanya tidak jelek di mata masyarakat yang mengurangi titel "suporter cinta damai"nya.
Kalau aremania? Anda pasti bisa menilainya sendirilah. Tidak perlu saya jelaskan di sini. Cukup menengok tragedi pembakaran stadion wilis madiun tahun 2005, stadion brawijaya kediri, konvoian aremania juara ISL 2010, perjalanan pulang dari tur solo (final piala indonesia 2010) dan yang terakher pulang dari tur jakarta di stasiun kediri. Melempari warga-warga sekitar stasiun yang tidak bersalah. Tapi maukah mereka mengakui perbuatan mereka??
Dan juga selama saya tinggal di malang, saya sedikit banyak menemukan 100% asli kera ngalam yang berdomisili di malang pendukung persebaya (bonek). Ketika saya bertanya kepada mereka mulai kapan mendukung persebaya jawabnya mereka menjadi Bonek sudah mulai kecil yang diwarisi oleh bapak-bapaknya. Dulu memang banyak bonek yang berasal dari malang, tapi sekarang sudah tidak sebanyak dulu lagi karena mereka sudah mempunyai tim daerahnya sendiri arema dan apalagi arema sedang naik daun.
Saya mencoba bertanya lebih jauh mengapa mereka tetap setia mendukung persebaya, jelas-jelas sekarang arema lagi naik daun. Mereka menjawab "tim ada di atas dan di bawah itu wajar, seperti roda berputar". Mereka sudah terlalu banyak mengerti kelebihan dan kekurangan bonek dan juga aremania, yang pada kesimpulannya ternyata bonek dan aremania sama saja. Yang paling menonjol dan membedakan bonek dari aremania adalah persatuan suporter bonek, kesetia kawanan. Akan terasa jika pertandingan di luar kandang. Bonek-bonek berbondong-bondong berangkat ke kota tujuan dengan bekal seadanya demi mendukung persebaya. Bekal seadanya tidak menyurutkan merka untuk bersatu. Ada yang membawa duit lebih, mereka malah ikut menemani teman mereka yang tidak mempunyai uang untuk nggandol truk maupun kereta. Seperti contoh misal bonek dari surabaya di tengah perjalanan bertemu dengan bonek dari pasuruan, mereka dengan cepat akrabnya langsung bersatu untuk mencapai kota tujuan. Yang penting sampai di kota tujuan dan mendukung tim kesayangan Persebaya. Jangan heran kalau di tengah perjalanan bertemu dengan rombongan bonek yang makan nasi bungkus dimakan ramai-ramai. Itu karena keterbatasan bekal yang ada tetapi tidak menyurutkan persatuan bonek yang ada.
Berbeda dengan aremania, saat tur luar kandang. Mereka saling berlomba mempercantik dan membanggakan korwil masing-masing. Ada yang naik bis, kereta, mobil pribad. Kalaupun di jalan bertemu dengan aremania lain yang sedang tidak mempunyai uang, mereka acuh tak acuh. Mereka berpendapat, "salah dewe bondo nekat, arema gak bondo nekat, arema bondo duit". Saya sendiri juga mempunyai teman aremania, dia bercerita saat itu pulang dari tur lamongan menonton persik vs arema. Dia dan teman-temannya pulang tidak mendapatkan bis umum, pengin ikut rombongan aremania yang naik bis mereka dilarang naik. Bukan rahasia lagi, kalau di stadion kanjuruhan maupun di mana saja terjadi persaingan antar korwil aremania di malang.
Saling mengunggulkan yang terbaik. Saling tawuran sesama aremania. Maka dari fakta di ataslah, bonek-bonek asli malang bangga menjadi bonek. Bangga mendukung persebaya.
"Bonek ingat tujuan menjadi suporter, mendukung tim, bukan berlomba menjadi suporter terbaik.
Bonek anarkis, bonek bikin ulah, bonek menjarah pedagang. Itulah headline yang slalu menghiasi media massa saat bonek tur ke luar kota. Media massa bagaikan ketiban rejeki saat bonek tur ke luar kota. Bagaikan dalam perlombaan, para pewarta berita berlomba-lomba memberitakan perjalanan tur bonek dengan mengarang indah dan pemberitaan yang paling menjual tanpa memandang kode etik pers. Masih jelas dalam ingatan saya, 24 Januari 2010 Bonek tur bandung diserang di solo. Dalam cuplikan video pada media massa menayangkan bonek yang kala itu di dalam dan di atas gerbong kereta diserang warga, bukan bonek yang menyerang, tapi dalam pembritaan headline nya
Bandingkan dengan berpuluh-puluh ribu Aremania tur jakarta pada saat akhir kompetisi ISL 2010 Persija vs Arema. Adakah pemberitaan aremania yang mencolok? Seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam dengan perjalanan arema. Padahal tur tersebut memakan korban 11 Aremania meninggal dunia (sumber : malang tv). Atau mungkin media massa takut beritanya tidak laku keras tidak seperti pemberitaan tur Bonek? Sampai-sampai Bonek dijadikan cerita bahan lawakan dalam sebuah acara komedi di tv swasta karena rating pemberitannya yang tinggi.
Kita putar memori kembali saat pelita karawang vs persebaya. Bonek yang datang ke stadion singaperbangsa karawang diserang oleh oknum suporter tuan rumah, dan besok paginya muncul diberitakan di redaksi berita olahraga ternama tentang bonek menyerang suporter tuan rumah. Dengan kemajuan teknologi saya mengajak teman-teman bonek yang ada di grup facebook saya, untuk menyebarkan ke grup yang laen untuk mengirim email protes ke redaksi tersebut. Alhamdulillah 2-3 hari setelah email tersebut dikirim, pihak redaksi meminta maaf kepada pengurus bonek
Dan di sini saya mengajak kepada teman-teman bonek se jagat raya, bila nantinya ada pemberitaan miring tentang bonek mari kita berlomba-lomba mengirim email protes kepada media massa agar nama bonek tidak semakin tercoreng gara-gara ulah oknum wartawan pemburu harga bukan pemburu berita. Kita manfaatkan fasilitas yang ada saat ini, teknologi udah maju dulur.
Sebelumnya saya pernah kuliah di malang dan sedikit banyak saya mengerti perbedaan bonek dan seterunya aremania. Pada umumnya Bonek dan Aremania sama, sama-sama suporter fanatik, suporter terbesar. Di Bonek ada suporter cinta damai, di aremania juga ada suporter cinta damai, di bonek ada suporter garis keras bonek '89, di aremania ada suporter sirag sarek '87, di bonek ada yang resek, di aremania juga ada yang resek. Intinya gak semuanya bonek itu resek, tapi juga masih cinta damai. Gak semuanya aremania cinta damai tapi masih juga aremania resek.
Saya sendiri menganut faham bonekisme "Biarkanlah orang menganggap luar kita radikal, tapi dalam hati kita bermoral. Daripada orang menganggap luar kita terbaik, tapi itu hanya munafik"
Tapi di sini perbedaannya, bonek yang kala tur berbuat anarkis dan menjarah. Langsung stigma anarkis itu melekat pada diri bonek. Perlu diketahui tidak semuanya bonek itu anarkis. Masih ingat bulan ramadhan kemarin? Kelompok-kelompok suporter bonek yang ada di surabaya, sidoarjo, gresik, pasuruan, maupun jember dan daerah-daerah lain membagikan ta'jil ke pengendara umum. Tapi di sini yang saya banggakan, ketika bonek dicaci maki saat melakukan tindakan anarkis. Mereka menerimanya dengan lapang dada, bukan malah munafik menuduh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab melakukannya. Bukan malah mencari-cari alasan lain agar namanya tidak jelek di mata masyarakat yang mengurangi titel "suporter cinta damai"nya.
Kalau aremania? Anda pasti bisa menilainya sendirilah. Tidak perlu saya jelaskan di sini. Cukup menengok tragedi pembakaran stadion wilis madiun tahun 2005, stadion brawijaya kediri, konvoian aremania juara ISL 2010, perjalanan pulang dari tur solo (final piala indonesia 2010) dan yang terakher pulang dari tur jakarta di stasiun kediri. Melempari warga-warga sekitar stasiun yang tidak bersalah. Tapi maukah mereka mengakui perbuatan mereka??
Dan juga selama saya tinggal di malang, saya sedikit banyak menemukan 100% asli kera ngalam yang berdomisili di malang pendukung persebaya (bonek). Ketika saya bertanya kepada mereka mulai kapan mendukung persebaya jawabnya mereka menjadi Bonek sudah mulai kecil yang diwarisi oleh bapak-bapaknya. Dulu memang banyak bonek yang berasal dari malang, tapi sekarang sudah tidak sebanyak dulu lagi karena mereka sudah mempunyai tim daerahnya sendiri arema dan apalagi arema sedang naik daun.
Saya mencoba bertanya lebih jauh mengapa mereka tetap setia mendukung persebaya, jelas-jelas sekarang arema lagi naik daun. Mereka menjawab "tim ada di atas dan di bawah itu wajar, seperti roda berputar". Mereka sudah terlalu banyak mengerti kelebihan dan kekurangan bonek dan juga aremania, yang pada kesimpulannya ternyata bonek dan aremania sama saja. Yang paling menonjol dan membedakan bonek dari aremania adalah persatuan suporter bonek, kesetia kawanan. Akan terasa jika pertandingan di luar kandang. Bonek-bonek berbondong-bondong berangkat ke kota tujuan dengan bekal seadanya demi mendukung persebaya. Bekal seadanya tidak menyurutkan merka untuk bersatu. Ada yang membawa duit lebih, mereka malah ikut menemani teman mereka yang tidak mempunyai uang untuk nggandol truk maupun kereta. Seperti contoh misal bonek dari surabaya di tengah perjalanan bertemu dengan bonek dari pasuruan, mereka dengan cepat akrabnya langsung bersatu untuk mencapai kota tujuan. Yang penting sampai di kota tujuan dan mendukung tim kesayangan Persebaya. Jangan heran kalau di tengah perjalanan bertemu dengan rombongan bonek yang makan nasi bungkus dimakan ramai-ramai. Itu karena keterbatasan bekal yang ada tetapi tidak menyurutkan persatuan bonek yang ada.
Berbeda dengan aremania, saat tur luar kandang. Mereka saling berlomba mempercantik dan membanggakan korwil masing-masing. Ada yang naik bis, kereta, mobil pribad. Kalaupun di jalan bertemu dengan aremania lain yang sedang tidak mempunyai uang, mereka acuh tak acuh. Mereka berpendapat, "salah dewe bondo nekat, arema gak bondo nekat, arema bondo duit". Saya sendiri juga mempunyai teman aremania, dia bercerita saat itu pulang dari tur lamongan menonton persik vs arema. Dia dan teman-temannya pulang tidak mendapatkan bis umum, pengin ikut rombongan aremania yang naik bis mereka dilarang naik. Bukan rahasia lagi, kalau di stadion kanjuruhan maupun di mana saja terjadi persaingan antar korwil aremania di malang.
Saling mengunggulkan yang terbaik. Saling tawuran sesama aremania. Maka dari fakta di ataslah, bonek-bonek asli malang bangga menjadi bonek. Bangga mendukung persebaya.
"Bonek ingat tujuan menjadi suporter, mendukung tim, bukan berlomba menjadi suporter terbaik.
- SURAT UNTUK BONEK
Reporter : Oryza A. Wirawan http://beritajatim.com
Saya tahu, hari ini kalian tengah marah, kecewa. Lima orang dari kalian
meninggal dunia, sebagian besar berusia belasan tahun, dan belasan lainnya
mengalami luka-luka, saat melintasi Lamongan. (Saya mendapat kabar, jumlah korban
ini masih bisa bertambah, dan semoga kabar itu salah).
Kalian mungkin marah, karena merasa ditipu atau dibohongi: kenapa korban banyak berjatuhan, justru setelah media massa memberitakan sebuah proses menuju perdamaian, antara kalian dengan suporter dari Lamongan.
Kalian mungkin merasa diperlakukan tak adil oleh aparat keamanan dan media massa. Saat sebagian dari kalian melakukan tindak kejahatan, itu dijadikan rasionalisasi untuk menyamaratakan kalian sebagai kriminal. Saat kalian melakukan tindakan terpuji, tak ada yang peduli.
Kalian berteriak kepada dunia: 'Kami memang tidak sempurna, sebagaimana lazimnya manusia. Ada di antara kami yang berbuat onar, tapi banyak juga di antara kami warga yang patuh hukum. Di antara ribuan apel di pasar, selalu ada apel yang busuk. Tapi mengapa kami tidak boleh mendapat perlakuan yang adil?'
'Di Jember, ada seorang kawan kami, berbaju Bonek, yang berusia belasan dipukuli hingga tulang tengkorak remuk dan disundut rokok di atas kereta api, hanya karena tidak membayar tiket karena kehabisan uang. Sementara, penumpang lain yang tidak punya tiket pula bisa bermain mata dengan oknum petugas sepur, atau hanya diturunkan baik-baik di stasiun terdekat.'
Kalian berteriak kepada dunia: 'Kenapa media massa lebih suka memberitakan sebagian dari kami melakukan kejahatan, daripada bercerita tentang ribuan dari kami bisa berdamai dengan suporter Bandung, Semarang, Jogjakarta, Solo, Makassar, dan menghilangkan dendam lama? Apakah sebuah damai tak lagi menarik di tengah Indonesia yang karut-marut karena omong kosong politik?'
Ya, memang orang banyak sering lupa (atau sengaja lupa, entahlah), bahwa sebagaimana komunitas yang lain, wajah Bonek tak pernah tunggal. Ia beragam. Ada seorang kawan saya, seorang pegawai negeri sipil, yang menjadikan lagu 'Iwak Peyek' versi stadion sebagai nada dering ponselnya. Ada seorang pengasong bakso di Jember yang menempelkan merek 'Bakso Bonek' untuk dagangannya.
Orang banyak mungkin tak tahu (atau sengaja pura-pura tidak tahu, entahlah), bahwa tak selamanya Bonek berasal dari kalangan bawah. Mereka yang dari kalangan bawah pun tak selamanya menjarah, sebagaimana tak selamanya ada jaminan pengusaha kaya raya dan politisi di negeri ini tidak berlaku korup dan mengemplang pajak.
Ada Bonek yang dari kalangan bawah rela menjual barang milik mereka hanya untuk menonton Persebaya, dan bukannya mencopet atau merampok, sebagaimana yang pernah disebut-sebut Karni Ilyas di sebuah acara di TV One.
Subkultur kekerasan bukanlah eksklusif milik kalian. Pelaku pengeboman di Bali dan Jakarta yang memakan banyak korban tak mengatasnamakan kecintaan terhadap Persebaya, tapi terhadap agama. Di pojok lain Indonesia, orang saling serang dan berbunuh-bunuhan atas nama kampung, dan bukan atas nama klub sepakbola.
Kebiasaan berdiri di atas atap gerbong kereta api, juga bukan laku khas kalian. Di Jakarta, setiap hari saat jam kerja, selalu ada orang-orang yang memilih berada di atap gerbong kereta api daripada berjubel-jubel di dalam gerbong yang pengap.
Berebut untuk mendapat barang gratis dan murah tak selamanya bisa dilekatkan sebagai perilaku khas kalian, para Bonek. Di Indonesia, orang-orang rela berdesak-desakan sampai pingsan dan berkelahi, hanya untuk memperoleh Blackberry dengan harga yang 'masya Allah' murahnya. Atau rela berdesak-desakan untuk mendapat Bantuan Langsung Tunai, dan setelah itu pergi ke pasar membeli baju atau barang konsumtif, daripada menyimpannya untuk hal lain yang lebih berguna.
Pada akhirnya, Bondo Nekat adalah sebuah semangat, bukan sekadar nama. Dan dengan semangat itulah, kalian disatukan. Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir, beberapa kali menyebut kata 'Bonek' atau 'Bondo Nekat' dalam memoarnya tentang Pertempuran Surabaya 1945 untuk melukiskan keberanian di masa itu.
Seseorang tak bisa diadili hanya karena semangat yang dimilikinya, atau kebanggaannya. Di negeri ini, orang seharusnya diadili karena apa yang dilakukannya, bukan apa latar belakangnya.
Kita mengadili mereka yang mencuri, menjarah, mengemplang pajak, atau menggangsir uang negara. Namun kita tak bisa mengadili seseorang hanya karena dia kelompok suporter A, B, atau C; atau hanya karena dia memiliki keyakinan X, Y, atau Z.
Kawan, saya tahu kalian marah, dan pada akhirnya mungkin akan berteriak: 'kami tak lagi peduli. Lima saudara kami telah mati. Kami akan menuntut balas'.
Tapi apa artinya menuntut balas? Jika mata dibalas mata, maka dunia akan buta. Demikian Gandhi berkata. Tak mudah memang menahan kemarahan, juga dendam. Saya bukan orang suci yang layak memberi nasihat itu, tentu saja. Tapi sebagai orang biasa, warga negara Indonesia, saya tentu boleh berharap: tak ada lagi darah yang menetes di lapangan sepakbola.
Pembalasan dendam hanya akan memunculkan korban baru sia-sia dan memperpanjang daftar amarah, juga kebencian. Warga Lamongan, terutama yang tinggal di Surabaya, bukanlah musuh kalian. Bahkan, saya yakin, mereka juga prihatin dan marah dengan kematian sia-sia itu. Pada dasarnya, kematian anak-anak berusia belasan tahun tersebut adalah duka kemanusiaan, yang menyentuh hati siapapun, menembus demarkasi kasta, agama, atau puak.
Saya ingat tahun 1994, seorang Bonek yang juga satpam yang santun, Suhermansyah, mati dalam kerusuhan di Stadion Mandala Krida Jogjakarta. Saat itu aroma balas dendam menyeruak, tapi hari ini kita semua tahu, kalian bisa bersahabat dengan suporter Jogjakarta.
Saya percaya, suatu saat kelak, luka, kesedihan, dan kemarahan, karena tragedi atas jalur kereta api itu akan berakhir. Saya selalu percaya: bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Setiap luka akan selalu mengering, sebagaimana setiap air mata akan diseka.
Saya ingat Emha Ainun Najib pernah berkata: kematian bukanlah tragedi, kecuali kita mengambil hak Tuhan untuk menentukannya. Saya percaya, kalian tentu tak akan mengambil hak Tuhan itu dengan memperpanjang daftar korban baru.
Kalian mungkin marah, karena saat sebagian dari Bonek berbuat kriminal (termasuk membunuh suporter lain), polisi bertindak cepat menangkap pelakunya. Saat sebagian dari Bonek melakukan kejahatan, aparat keamanan bertindak tangkas membekuknya.
Kalian lalu bertanya: ke mana aparat keamanan berjaga, saat lima dari kalian mati dalam sebuah perjalanan maut di atas kereta api barang? Saya tidak tahu. Tapi saya percaya, polisi tak akan membiarkan peristiwa ini diam-diam tanpa pengusutan.
Kawan, dunia bukan surga. Tapi mungkin justru itu yang membuat dunia dihargai: ia ada karena ikhtiar bersama. Ia ada karena kita selalu bisa memperbaiki harapan.
Seperti sebuah efek kepak sayap kupu-kupu, satu kebaikan dan kebajikan di Surabaya, akan berbuah baik di sebuah tempat, ribuan mil dari kota kalian.
Saya percaya, kalian selalu berusaha lebih baik, walau pun tak banyak yang mau mencatat dan mengabarkannya. Saya percaya, karena justru kalian menyadari: bahwa kalian tidak sempurna, karena yang sempurna hanya ada di Atas Sana.
Jika suatu saat kalian lelah dan tak mempercayai apapun lagi, maka ingatlah sebatang pohon mundu di sebuah rumah di Solo, ratusan kilometer dari Surabaya. Pohon yang ditanam bersama oleh kalian dan suporter Pasoepati Solo dengan itikad baik dan keyakinan: bahwa dalam diri manusia, tak selamanya gelap, karena di sana juga ada terang. Dan dari situ, kita boleh berharap.
Kalian mungkin marah, karena merasa ditipu atau dibohongi: kenapa korban banyak berjatuhan, justru setelah media massa memberitakan sebuah proses menuju perdamaian, antara kalian dengan suporter dari Lamongan.
Kalian mungkin merasa diperlakukan tak adil oleh aparat keamanan dan media massa. Saat sebagian dari kalian melakukan tindak kejahatan, itu dijadikan rasionalisasi untuk menyamaratakan kalian sebagai kriminal. Saat kalian melakukan tindakan terpuji, tak ada yang peduli.
Kalian berteriak kepada dunia: 'Kami memang tidak sempurna, sebagaimana lazimnya manusia. Ada di antara kami yang berbuat onar, tapi banyak juga di antara kami warga yang patuh hukum. Di antara ribuan apel di pasar, selalu ada apel yang busuk. Tapi mengapa kami tidak boleh mendapat perlakuan yang adil?'
'Di Jember, ada seorang kawan kami, berbaju Bonek, yang berusia belasan dipukuli hingga tulang tengkorak remuk dan disundut rokok di atas kereta api, hanya karena tidak membayar tiket karena kehabisan uang. Sementara, penumpang lain yang tidak punya tiket pula bisa bermain mata dengan oknum petugas sepur, atau hanya diturunkan baik-baik di stasiun terdekat.'
Kalian berteriak kepada dunia: 'Kenapa media massa lebih suka memberitakan sebagian dari kami melakukan kejahatan, daripada bercerita tentang ribuan dari kami bisa berdamai dengan suporter Bandung, Semarang, Jogjakarta, Solo, Makassar, dan menghilangkan dendam lama? Apakah sebuah damai tak lagi menarik di tengah Indonesia yang karut-marut karena omong kosong politik?'
Ya, memang orang banyak sering lupa (atau sengaja lupa, entahlah), bahwa sebagaimana komunitas yang lain, wajah Bonek tak pernah tunggal. Ia beragam. Ada seorang kawan saya, seorang pegawai negeri sipil, yang menjadikan lagu 'Iwak Peyek' versi stadion sebagai nada dering ponselnya. Ada seorang pengasong bakso di Jember yang menempelkan merek 'Bakso Bonek' untuk dagangannya.
Orang banyak mungkin tak tahu (atau sengaja pura-pura tidak tahu, entahlah), bahwa tak selamanya Bonek berasal dari kalangan bawah. Mereka yang dari kalangan bawah pun tak selamanya menjarah, sebagaimana tak selamanya ada jaminan pengusaha kaya raya dan politisi di negeri ini tidak berlaku korup dan mengemplang pajak.
Ada Bonek yang dari kalangan bawah rela menjual barang milik mereka hanya untuk menonton Persebaya, dan bukannya mencopet atau merampok, sebagaimana yang pernah disebut-sebut Karni Ilyas di sebuah acara di TV One.
Subkultur kekerasan bukanlah eksklusif milik kalian. Pelaku pengeboman di Bali dan Jakarta yang memakan banyak korban tak mengatasnamakan kecintaan terhadap Persebaya, tapi terhadap agama. Di pojok lain Indonesia, orang saling serang dan berbunuh-bunuhan atas nama kampung, dan bukan atas nama klub sepakbola.
Kebiasaan berdiri di atas atap gerbong kereta api, juga bukan laku khas kalian. Di Jakarta, setiap hari saat jam kerja, selalu ada orang-orang yang memilih berada di atap gerbong kereta api daripada berjubel-jubel di dalam gerbong yang pengap.
Berebut untuk mendapat barang gratis dan murah tak selamanya bisa dilekatkan sebagai perilaku khas kalian, para Bonek. Di Indonesia, orang-orang rela berdesak-desakan sampai pingsan dan berkelahi, hanya untuk memperoleh Blackberry dengan harga yang 'masya Allah' murahnya. Atau rela berdesak-desakan untuk mendapat Bantuan Langsung Tunai, dan setelah itu pergi ke pasar membeli baju atau barang konsumtif, daripada menyimpannya untuk hal lain yang lebih berguna.
Pada akhirnya, Bondo Nekat adalah sebuah semangat, bukan sekadar nama. Dan dengan semangat itulah, kalian disatukan. Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir, beberapa kali menyebut kata 'Bonek' atau 'Bondo Nekat' dalam memoarnya tentang Pertempuran Surabaya 1945 untuk melukiskan keberanian di masa itu.
Seseorang tak bisa diadili hanya karena semangat yang dimilikinya, atau kebanggaannya. Di negeri ini, orang seharusnya diadili karena apa yang dilakukannya, bukan apa latar belakangnya.
Kita mengadili mereka yang mencuri, menjarah, mengemplang pajak, atau menggangsir uang negara. Namun kita tak bisa mengadili seseorang hanya karena dia kelompok suporter A, B, atau C; atau hanya karena dia memiliki keyakinan X, Y, atau Z.
Kawan, saya tahu kalian marah, dan pada akhirnya mungkin akan berteriak: 'kami tak lagi peduli. Lima saudara kami telah mati. Kami akan menuntut balas'.
Tapi apa artinya menuntut balas? Jika mata dibalas mata, maka dunia akan buta. Demikian Gandhi berkata. Tak mudah memang menahan kemarahan, juga dendam. Saya bukan orang suci yang layak memberi nasihat itu, tentu saja. Tapi sebagai orang biasa, warga negara Indonesia, saya tentu boleh berharap: tak ada lagi darah yang menetes di lapangan sepakbola.
Pembalasan dendam hanya akan memunculkan korban baru sia-sia dan memperpanjang daftar amarah, juga kebencian. Warga Lamongan, terutama yang tinggal di Surabaya, bukanlah musuh kalian. Bahkan, saya yakin, mereka juga prihatin dan marah dengan kematian sia-sia itu. Pada dasarnya, kematian anak-anak berusia belasan tahun tersebut adalah duka kemanusiaan, yang menyentuh hati siapapun, menembus demarkasi kasta, agama, atau puak.
Saya ingat tahun 1994, seorang Bonek yang juga satpam yang santun, Suhermansyah, mati dalam kerusuhan di Stadion Mandala Krida Jogjakarta. Saat itu aroma balas dendam menyeruak, tapi hari ini kita semua tahu, kalian bisa bersahabat dengan suporter Jogjakarta.
Saya percaya, suatu saat kelak, luka, kesedihan, dan kemarahan, karena tragedi atas jalur kereta api itu akan berakhir. Saya selalu percaya: bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Setiap luka akan selalu mengering, sebagaimana setiap air mata akan diseka.
Saya ingat Emha Ainun Najib pernah berkata: kematian bukanlah tragedi, kecuali kita mengambil hak Tuhan untuk menentukannya. Saya percaya, kalian tentu tak akan mengambil hak Tuhan itu dengan memperpanjang daftar korban baru.
Kalian mungkin marah, karena saat sebagian dari Bonek berbuat kriminal (termasuk membunuh suporter lain), polisi bertindak cepat menangkap pelakunya. Saat sebagian dari Bonek melakukan kejahatan, aparat keamanan bertindak tangkas membekuknya.
Kalian lalu bertanya: ke mana aparat keamanan berjaga, saat lima dari kalian mati dalam sebuah perjalanan maut di atas kereta api barang? Saya tidak tahu. Tapi saya percaya, polisi tak akan membiarkan peristiwa ini diam-diam tanpa pengusutan.
Kawan, dunia bukan surga. Tapi mungkin justru itu yang membuat dunia dihargai: ia ada karena ikhtiar bersama. Ia ada karena kita selalu bisa memperbaiki harapan.
Seperti sebuah efek kepak sayap kupu-kupu, satu kebaikan dan kebajikan di Surabaya, akan berbuah baik di sebuah tempat, ribuan mil dari kota kalian.
Saya percaya, kalian selalu berusaha lebih baik, walau pun tak banyak yang mau mencatat dan mengabarkannya. Saya percaya, karena justru kalian menyadari: bahwa kalian tidak sempurna, karena yang sempurna hanya ada di Atas Sana.
Jika suatu saat kalian lelah dan tak mempercayai apapun lagi, maka ingatlah sebatang pohon mundu di sebuah rumah di Solo, ratusan kilometer dari Surabaya. Pohon yang ditanam bersama oleh kalian dan suporter Pasoepati Solo dengan itikad baik dan keyakinan: bahwa dalam diri manusia, tak selamanya gelap, karena di sana juga ada terang. Dan dari situ, kita boleh berharap.
- Bonek Namai
Tribun BB Purwo Gate untuk Kenang Tragedi G10N
Tribun BB, sebelah kanan VIP, di Stadion Gelora 10 Nopember
tempat meninggalnya Purwo Adi Utomo, kini memiliki nama: Purwo Gate. Pemberian
nama itu untuk mengenang Tomi, sapaan akrab Purwo.
Penahbisan nama tribun tersebut dilakukan Jumat (8/6/2012) malam oleh puluhan Bonek dari berbagai penjuru Surabaya. Mereka berkumpul membawa lilin sebagai tanda duka atas meninggalnya Tomi, pascabentrokan Bonek dengan polisi, Minggu (3/6/2012) lalu.
Nama 'Purwo Gate' lantas dicat di dinding lorong masuk tribun BB, tempat ratusan Bonek, berlarian menyelamatkan diri saat polisi menembakkan gas air mata ke arah mereka. Dalam kejadian tersebut, sejumlah Bonek terjatuh, sebagian perempuan, terinjak-injak sesama kawan yang disergap kepanikan.
"Kami di sini tak hanya memperingati kematian Purwo. Tapi juga kematian kawan-kawan kami dari dulu hingga saat ini, mulai dari Suhermansyah, Bonek yang meninggal di Stadion Mandala Krida Jogjakarta, Eri Irianto, pemain legendaris Persebaya, hingga kawan-kawan Bonek yang meninggal di Lamongan," kata Prasetyo Utomo, salah satu Bonek, Sabtu (9/6/2012) pagi.
Kegiatan itu juga untuk mengingatkan, agar tragedi kemanusiaan di Tribun BB diusut tuntas. "Kita tidak boleh lelah," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil ini.
Bonek berharap manajemen Persebaya, pengelola Gelora 10 Nopember, dan asosiasi suporter resmi mengupayakan agar nama Purwo Gate diformalkan. Bonek hanya mengawali saja untuk pemberian nama tersebut.
Penahbisan nama tribun tersebut dilakukan Jumat (8/6/2012) malam oleh puluhan Bonek dari berbagai penjuru Surabaya. Mereka berkumpul membawa lilin sebagai tanda duka atas meninggalnya Tomi, pascabentrokan Bonek dengan polisi, Minggu (3/6/2012) lalu.
Nama 'Purwo Gate' lantas dicat di dinding lorong masuk tribun BB, tempat ratusan Bonek, berlarian menyelamatkan diri saat polisi menembakkan gas air mata ke arah mereka. Dalam kejadian tersebut, sejumlah Bonek terjatuh, sebagian perempuan, terinjak-injak sesama kawan yang disergap kepanikan.
"Kami di sini tak hanya memperingati kematian Purwo. Tapi juga kematian kawan-kawan kami dari dulu hingga saat ini, mulai dari Suhermansyah, Bonek yang meninggal di Stadion Mandala Krida Jogjakarta, Eri Irianto, pemain legendaris Persebaya, hingga kawan-kawan Bonek yang meninggal di Lamongan," kata Prasetyo Utomo, salah satu Bonek, Sabtu (9/6/2012) pagi.
Kegiatan itu juga untuk mengingatkan, agar tragedi kemanusiaan di Tribun BB diusut tuntas. "Kita tidak boleh lelah," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil ini.
Bonek berharap manajemen Persebaya, pengelola Gelora 10 Nopember, dan asosiasi suporter resmi mengupayakan agar nama Purwo Gate diformalkan. Bonek hanya mengawali saja untuk pemberian nama tersebut.
Sumber :
(Dilarang Mencopas tanpa seijin dan tanpa menyertai asal sumber artikel tersebut. Hak Cipta dilindungi oleh UU dan Allah SWT) ttd CTN
Makanya namanya harus dikembalikan ke Green Force seperti tahun 90-an. Bonek adalah jiwa & semangat Arek Suroboyo. Jangan dijadikan nama suporter. kalau Bonek dijadikan sebagai nama suporter, sangat mudah bagi pihak2 tertentu mengkambing hitamkan nama suporter tsb & merugikan Persebaya & Orang Surabaya juga.
BalasHapusSatu lagi... Suporter Green Force adalah suporter yang paling kreatif & atraktif di tahun 90-an. Di jaman itu, Surabaya sering dijadikan tempat pertandingan Internasional menggantikan jakarta karena suporter Surabaya lebih patriotik & Nasionalis.
BalasHapus