Seiring dengan kemajuan zaman, penyimpangan
terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat. Hal ini
setidaknya merupakan akibat dari dua hal : pertama, lemahnya pemahaman agama,
kedua dampak dari proses akulturasi dan asimilasi budaya sehingga budaya-budaya
yang terkesan “modern” lebih kuat pengaruhnya ketimbang ajaran agama.
Salah satu penyimpangan yang sering
terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan, dimana soal iman
seringkali diremehkan dalam sebuah proses memilih pasangan hidup.
Kebanyakan orang justru mengedepankan perasaan cinta dan kriteria duniawi,
dampaknya yang kita rasakan saat ini adalah meningkatnya angka keretakan rumah
tangga yang disebabkan oleh perilaku yang kalau kita mau akui lebih jujur,
biang keladinya adalah lemahnya iman.
Ironisnya saat ini malah justru semakin
banyak kasus perkawinan antar agama, yaitu perkawinan antar seorang pria
dengan seorang wanita yang tunduk pada agama yang berbeda, demikian menurut
Suparman Usman dalam bukunya yang berjudul “Perkawinan Antar Agama”.
Tuntutan agar perkawinan antar pasangan yang berbeda agama bisa disahkan di
Indonesia agaknya semakin deras belakangan ini. Apalagi hal ini umumnya
dilakukan oleh para selebritis yang notabene disaksikan publik karena
pernikahan mereka biasanya di blow up oleh media. Hal inilah yang kemudian
dapat membentuk opini masyarakat bahwa pernikahan antar agama itu adalah hal
biasa, karena secara sosiologis, sebuah kesalahan -sekalipun- jika terlalu
sering dibiasakan lama-kelamaan bisa dipandang baik.
Larangan pernikahan beda agama:
1. Melanggar Hukum Agama
Al-Qur'an dengan tegas melarang pernikahan
seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 221:
ولاتنكحواالمشركات حتى يؤمن ولامةمؤمنةخيرمن مشركةولواعجبتكم
ولاتنكحواالمشركين حتى يؤمنوا
ولعبد مؤمن خير من مشرك ولواعجبكم اولئك يدعون الى الناروالله
يدعو الى الجنةوالمغفرة باذنه ويبين اياته
للناس لعلهم يتذكرون
“Dan
janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman.
Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita
musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki
musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak
laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia
menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada
manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Al Musyrikat dan Al Musyrikin dalam ayat
ini menurut para ahli tafsir adalah orang-orang musyrik penyembah berhala dan
agama-agama lain termasuk Ahlul Kitab (tafsir ayatul ahkam, Muhammad Ali
Asshabuny). Karena menurut Al-Qur'an Ahlul Kitab adalah juga orang musyrik,
Berdasarkan firman Allah dalam Surat At Taubah ayat 30-31:
“Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair
putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah
ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir
yang terdahulu. Allah melaknat mereka;bagaiman mereka sampai berpaling?”(QS.
At Taubah : 30)
“Mereka menjadikan orang-orang alim
(Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga)
Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha
Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka
persekutukan.”(QS. At Taubah : 31)
Ibnu Umar ketika ditanya mengenai
seorang muslim yang menikah dengan wanita nasrani dan yahudi, beliau berkata :
“saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seorang
perempuan yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa”. Jadi jelas bahwa dalam
pandangan Islam, seorang budak yang beriman lebih baik dihadapan Allah Swt
ketimbang seorang musyrik meskipun lebih menarik dan terhormat. Sebagaimana
sebuah kisah yang pernah dialami oleh seorang sahabat nabi bernama Abdullah bin
Rowahah yang mempunyai seorang budak perempuan berkulit hitam yang sering
dimarahinya. Tapi kemudian ketika ia mengadukan budaknya itu kepada Rasulullah,
Rasul bertanya : “ Siapa dia wahai Abdullah?”, “ Dia adalah budakku, dia rajin
sholat, puasa, menyempurnakan wudhunya, bersaksi tiada tuhan selain Allah dan
Engkau adalah RasulNya”. Kemudian Rasulullah berkata : “ Dia adalah mu'minah
yang sejati”. Lalu Abdullah berkata lagi “ Demi Allah yang telah mengutusmu,
pasti aku akan memerdekakannya dan menikahinya”. Walaupun kemudian setelah
menikah Abdullah bin rowahah mendapat hinaan dari kawan-kawannya yang lebih
memilih wanita-wanita musyrik yang terhormat untuk menjadi istri mereka.
2. Melanggar undang-undang perkawinan.
Di dalam UU perkawinan No.1 Tahun 1974
tidak dikenal istilah perkawinan antar agama sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1,
yaitu “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya”. Hal ini membuktikan bahwa perkawinan yang
dilakukan oleh seseorang yang berbeda agama dan keyakinan jelas melanggar hukum
dan tidak bisa dilaksanakan di Negara Republik Indonesia dan seharusnya tidak
ada toleransi atau pembelaan terhadap mereka yang melakukan itu baik oleh
perseorangan maupun lembaga apapun.Kantor Urusan Agama dan Catatan Sipil
sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melayani pencatatan pernikahan
pun tidak akan melayani sebuah pernikahan selama pasangan calon suami istri
masih berbeda agama. Masyarakat juga diharapkan bisa mengikuti aturan ini
dengan baik, artinya jangan kemudian disiasati dengan cara berpura-pura masuk
ke agama yang dianut oleh pasangannya hanya karena ingin memenuhi persyaratan
administratif, tapi setelah berumah tangga ia kembali ke agamanya semula.
3. Tidak akan tercapai tujuan perkawinan
Setiap perkawinan pasti bertujuan untuk
mencapai kebahagiaan, kedamaian, keberkahan, mendapatkan ketenangan batin yang
dalam Al-Qur'an disebut dengan istilah sakinah. Menurut Prof. DR. Quraisy
Shihab, larangan perkawinan antar agama yang berbeda itu dilatar belakangi
oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan
langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami
istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, latar belakang
sosial atau bahkan perbedaan tingkat pendidikanpun tidak jarang mengakibatkan
kegagalan dalam perkawinan.
Para ulama pun sepakat bahwa prasyarat
penting yang harus dipenuhi seseorang dalam mencapai sakinah dalam rumah
tangganya adalah sesuai dengan hadits Rasulullah : Fazfar bidzatiddin.
Artinya, tolak ukur keberagamaan seseorang adalah yang paling utama Seperti
yang tercermin dalam keluarga Rasulullah SAW. Rasulullah dapat merasakan
suasana surgawi (baiti jannati) dalam rumah tangganya, karena semua anggota
keluarganya adalah orang-orang yang taat kepada Allah SWT.
Akibat pernikahan antar agama
Selain tidak akan tercapainya kebahagiaan
yang hakiki dalam rumah tangga, perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai
ekses yang berkepanjngan di belakang hari, seperti :
1. Melahirkan keturunan yang tidak jelas
nasabnya
Karena pernikahan beda agama tidak sah
menurut hukum Islam, maka keturunan yang terlahir dari pasangan tersebut
disebut anak garis ibu, artinya dia terputus nasabnya dari bapaknya yang
memproses secara biologis. Jika kemudian terlahir anak perempuan dari pernikahan
mereka, kemudian anak perempuan ini beragama islam sedangkan bapaknya beragama
lain, maka dia tidak bisa diwalikan oleh bapak. Apabila dipaksakan bapak
biologisnya menjadi wali nikah, maka pernikahan anak tersebut tidak sah. Dan
pernikahan yang tidak hanya akan sah melahirkan hubungan suami istri yang tidak
sah alias zina.
2. Terputusnya hak waris
Dalam agama Islam, salah satu penyebab
seseorang tidak bisa mendapatkan harta waris (terputus hak warisnya) yaitu
perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Hal ini bisa saja menimbulkan
konflik (perebutan harta waris) yang berkepanjangan jika terdapat beberapa ahli
waris yang berbeda agama dalam sebuah keluarga.
3. Membuat ketidakpastian dalam memilih
agama
Karena biasanya orangtua yang berbeda agama
cenderung memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-anaknya. Kebebasan ini
justru sebenarnya akan menjadi beban psikologis terhadap anak-anak mereka,
sebab :
-
Seorang anak yang belum mencapai kematangan
berfikir dan tidak memiliki wawasan keagamaan, sesungguhnya akan membuat mereka
bingung dalam menentukan pilihan agamanya. Hal inilah yang kemudian membuat
mereka hidup dalam ketidakpastian dan akan selalu diliputi keragu-raguan.
-
Beban psikologis besar juga akan dirasakan oleh
anak dari pasangan berbeda agama ini ketika mereka mempertimbangkan perasaan
salah satu dari orangtuanya, apakah akan ikut agama bapak atau ibu. Hal ini
tidak bisa dianggap remeh sekalipun orangtua memberi kebebasan, tetap anak akan
merasakan kebimbangan dalam menentukan pilihannya.
-
Yang paling dihawatirkan adalah, karena selalu
diliputi kebingungan dan ketidakpastian pada akhirnya anak-anak mereka masa
bodo terhadap agama, mereka memilih hidup bebas seperti orang yang tidak
beragama
(Dilarang Mencopas tanpa seijin dan tanpa menyertai asal sumber artikel tersebut. Hak Cipta dilindungi oleh UU dan Allah SWT) ttd CTN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan Komentar, Saran, Kritik, Masukan atas Artikel diatas. ^_^
Dimohon untuk tidak mengunakan akun anonim.
No Spam please!
Assalamualaikum